AYAH DAN ANAK
(Bjornsteme Bjornson)
Lelaki yang
diceritai dalam kisah ini adalah seorang yang berpengaruh dan paling dan
paling kaya di desanya. Namanya Thord Overaas. Ia muncul di rumah pendeta pada
suatu hari. Tubuhnya tinggi dan dia tampak bersungguh-sungguh.
“Aku baru saja memiliki seorang putera,” katanya,
“dan aku ingin agar ia dipermandikan.”
“Akan diberi
nama apa dia?”
Finn-seperti
nama ayahku.”
“Para
saksinya?”
Ia
menyebutkan sederetan nama yang merupakan tetangga terdekatnya di desa itu.
“Ada lagi
yang lain?”
Petani itu
ragu sejenak.
“Aku ingin
agar ia dipermandikan secara khusus, seorang diri,” ujarnya.
“Dalam
minggu ini?”
“Ada lagi
yang ingin kau katakan?” tanya pendeta.
“Tidak ada,”
lalu ia menyentuh topinya, seolah – olah akan pergi.
Pendeta
bangkit berdiri. Ia menghampiri Thord, memegang tangannya, dan menatap lekat
dengan matanya, “ Tuhan menganugerahkan anak ini sebagai berkah untukmu!”
“Sungguh,
kau tampak awet muda, Thord,” kata pendeta saat melihat bahwa tak ada yeng
berubah dalam penampilan Thord
“Itu karena
aku tak punya masalah,” jawab Thord.
Pendeta tak
berkata apapun, kemudian ia bertanya, “Apa yang membuatmu kemari malam ini?”
“Aku datang
sehubungan dengan puteraku yang akan mengikuti wisudah sekolah gereja besok.”
“Ia anak
yang cerdas.”
“Aku ingin
tahu pada urutan keberapa ia akan mendampat giliran berdiri di gereja besok.”
“Ia akan
berdiri di sana pada urutan pertama.”
“Aku kini
sudah mengetahuinya. Ini uang sepuluh dolar untuk Pak Pendeta.”
“Ada lagi
yang bisa kubantu?” tanya pendeta.
“Tak ada.”
Thord beranjak pergi.
***
Delapan
tahun telah berlalu dan pada suatu hari terdengan suara ribut di luar rumah
pendeta ketika beberapa orang datang mendekat. Thord berada paling depan, ia
masuk pertama kali.
Pendeta
menatapnya dan mengenalinya
“Kau tampak
sehat, Thord,” ujarnya.
“Aku ingin
mengumumkan pernikahan puteraku dengan Karen Storliden, anak perempuan Gudmund,
yang berdiri di sampingku.”
“Ia akan
menjadi gadis yang paling kaya di desa ini.”
“Begitulah.”
Jawab petani itu seraya mengelus rambutnya dengan sebelah tangan.”
Pendeta
duduk berdiam diri sejenak seraya berpikir, lalu ia menuliskan nama-nama itu
dalam bukunya tanpa berkomentar, dan mereka menandatanganinya. Thord meletakan
uang tiga dolar di atas meja.
“Cukup satu
dolar,” kata pendeta.
“Kali ini
kali ketiga kau datang untuk puteramu, Thord,”
“Tapi kini
aku telah menyelesaikan tugasku.” ujar Thord, ia berpamitan dan pergi keluar. Orang
– orang itu perlahan – lahan mengikutinya.
Esok
malamnya, sang ayah dan anak berdayung melintasi danau menuju kediaman keluarga
Storliden untuk menyusun acara pernikahan.
“Penghalang
ini tidak aman,” kata si anak dan berdiri untuk meluruskan tempat duduknya.
Pada saat
bersamaan papan tempatnya berpijak terlepas, ia mencoba menjaga keseimbangan,
namun kemudian terjatuh ke danau diiringi sebuah pekikan.
“Berpeganglah
pada dayung,” seru ayanya. Ia menjulurkan tubunya dan mengulurkan dayung.
Ketika anaknya mencoba bergerak, tubuh pemuda itu mengejang kaku.
“Tunggu
sebentar!” teriak sang ayah dan mulai mendayung mendekati anaknya. Anak itu
hanya mampu menatap ayahnya dengan sebuah tatapan panjang, lalu perlahan-lahan
tenggelam.
Thord tak
mempercayai kenyataan itu. Ia mencengkeram ujung perahu dan menatap titik di
mana anaknya tenggelam, seolah-olah ia merasa yakin bahwa tubuh itu akan
kembali muncul di permukaan danau. Terlihat gelembung-gelembung udara dan
akhirnya lingkaran lebar yang kemudian menghilang, lalu danau itu kembali
tenang seperti cermin.
Selama tiga
hari tiga malam orang-orang melihat sang ayah berdayung mengelilingi tempat itu
tanpa makan dan tidur. Ia mencari mayat anaknya. Pada suatu pagi di hari
keempat ia menemukannya dan membopong mayat itu ke bukit, ke ladangnya.
Sekitar
setahun setelah itu, di sebuah malam yang larut di musim gugur, pendeta
mendengar suara seorang di luar rumahnya. Ia membuka pintu, dilihatnya seorang
lelaki bertubuh tinggi kurus dengan sosok agak bungkuk dan rambut memutih.
Pendeta lama menatap sosk itu sebelum berhasil mengenalinya. Ia adalah Thord.
“Apakah kau
bisa pergi di larut malam?” tanya pendeta.
“Ya, ini
memang sudah larut malam,” ujar Thord, ia lalu duduk.
Pendeta ikut
duduk, menunggu. Kesunyian yang panjang melingkupi mereka. Akhirnya Thord
berkata, “Aku ada sedikit yang ingin kudermakan
pada orang-orang miskin. Aku ingin menjadinya sedekat atas nama
puteraku.”
Ia bangkit
dan menaruh sejumlah uang di atas meja, kemudian duduk kembali. Pendeta menghitungnya.
“Ini banyak
sekali.”
“Itu
setengah dari harga ladangku. Aku menjualnya hari ini.”
Pendeta
duduk berdiam diri cukup lama. Lau ia bertanya lembut,” Apa yang akan kau
lakukan selanjutnya Thord?
“Sesuatu
yang lebih baik.”
Mereka duduk
di sana untuk beberapa saat. Thord dengan pandangan tertunduk dan pendeta dengan sepasang mata terpaku pada
lelaki itu. Kemudian pendeta berkata dengan perlahan-lahan dan lembut. “Kukira
pada akhirnya puteramu telah membawa berkah sejati untukmu.”
“Ya, kukira
memang begitu,” ucap Thord. Ia menatap wajah pendeta, dua tetes air mata
berlindang membasahi pipinya.
Bjomstjeme
Bjomson (1832-1910). Peraih Hadiah Nobel Sastra 1903. Ia dikenal dengan
sajak-sajaknya yang anggun dan penuh daya hidup, selain berbagai karya prosanya.
Karya-karyanya meliputi naskah drama, Norwegia ini adalah A Gauntlet (1883).
Dalam cerpen-cerpennya, ia banyak berkisah tentang petani di pedesaan kawasan
Skandinavia.
RENCANAKAN SEGALANYA KECUALI MATI
RENCANAKAN SEGALANYA KECUALI MATI
0 komentar:
Post a Comment